Secara tradisi masyarakat Bali dalam melakukan pengobatan dikenal dengan pengusada (pengobat). Profesi pengobatan tidak terlepas dari profesi tradisi yang dikenal dimasyarakat seperti, Jro Dasaran, Jro Tapakan, Balian, Jro Mangku.
Kegiatan pengobatan secara tradisional tidak terlepas dari para pemimpin agama di masyarakat.
Pandangan masyarakat Bali semua ciptaan di Bumi ini adalah ciptaan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sakitpun dipandang sebagai ciptaan-Nya. Sakit muncul apabila muncul dari ketidak setimbangan antara panca maha butha / panca Brahma dan Tri dosha (tiga unsur cairan).
Ketidak harmonisan hubungan antara individu dan lingkungannya, antar individu dan hubungan antara diri dan Sang Pecipta / Tuhan Yang Maha Esa sebagai penyebab suatu sakit. Padangan Sakit sangatlah luas dan bersifat holistik. Ketidak setimbangan atau ketidak harmonisan ini merupakan penyebab awal dari sakit.
Masyarakat Hindu Bali mengelompokkan sakit menjadi:
a) Adhyatmika (diri sendiri) dimana ketidak setimbangan terjadi di dalam tubuh manusia itu sendiri atau ketidak setimbangan dari unsur tri dosa Biokimiawan menggambarkan Adhyatmika sebagai ketidak sehimbangan pada level selular;
b) Adhidaiwika merupakan ketidak seimbangan antara diri dengan lingkungan luar baik bersifat sekala (nyata) maupun alam niskala;
c) Adhibautika yaitu sakit yang diakibatkan oleh tusukan benda tajam, gigitan binatang, atau kecelakaan. Sakit adhibuatika diyakini jua diakibatkan oleh karma wesana yang melekat pada individu manusia.
Secara tradisional masyarakat Bali dalam usaha peyembuhan pasti dimulai dengan memohon kesembuhan dari sang Hyang Pencipta.
Cara pengobatan masyarakat Bali dicatat dalam baik lontar Usada maupun berupa tutur. Lontar usada memuat tatwa yaitu tentang ajaran aksara gaib (wijaksara), anatomi tubuh, phisiologi, falsafat sehat-sakit, pedewasaan pengobatan, sesana balian, tetenger/diagnosa sakit, ramuan obat, tata cara pengobatan, progonisis suatu sakit/penyakit, upacara yang berkaitan dengan pencegahan / preventif penyakit/sakit.
Secara mitologi Lontar Tarupramana menggambarkan kominikasi tanaman dengan pengobat / balian. Tanaman menurut Balian dapat memiliki pramana yang sama dengan Balian sehingga terjadi kominikasi antara tanaman dan pengusada. Tanaman akan menyampaikan fungsi pengobatan dari setiap bagiannya. Pengusada memahami komunikasi ini. Oleh Pengusada hasil kominikasi ini dicatat dalam lontar Tarupramana.
Pengusada atau Balian adalah orang yang memiliki kemampuan untuk mengobati sakit. Kemampuan ini membedakan Pengusada tersebut.
a) Pengusada ketakson adalah balian mendapat keahlian / taksu melalui jananam atau kominikasi pikir antara Balian dengan Ide Betara (Tuhan Yang Maha Esa) kemampuan ketakson ini membangkitkan kekuatan dari seseorang Balian dalam penyembuhkan. Seorang balian berdasarkan taksu yang dimiliki mampu meliat dan menangkap gestur dan aura ketidak setimbangan kliennya, yaitu ketidak setimbangan adhyatmika dan adhidaiwika sebagai penyebab sakit dari kliennya.
Seorang Balian ketakson melakukan permohonan kepada Sang Pencipta, dan memanfaatkan kekuatan wijaksara (aksara suci) sebagai penyeimbang. Taksu adalah kekuatan gaib yang masuk kedalam diri seseorang dan mempengaruhi orang tersebut, baik cara berpikir, berbicara maupun tingkah lakukanya.
Masyarakat Bali meyakini seorang pengusada ketakson akan kemasukan taksu mampu untuk mengobati orang yang sakit.
b) Pengusada Kepican. Seorang Balian Balian kapican adalah orang yang mendapat benda bertuah yang dapat dipergunakan untuk menyembuhkan orang sakit. disebut pica. Benda bertuah ini Dengan mempergunakan pica yang didapatkan balian tersebut mampu menyembuhkan penyakit
c) Balian usada adalah seseorang dengan sadar belajar tentang ilmu pengobatan, baik melalui guru waktra, belajar pada balian, maupun belajar sendiri melalui lontar usada.
d) Balian campuran adalah balian tatakson maupun balian pica yang mempelajari usada.
Jenis Balian berdasarkan profesi : Lung (patah tulang), Manak (beranak), Apun (lulur), Wuut (urut), dan Kacekel (pijat)
Pengobatan atau Tatambaan dalam Usada menggunakan Tamba berarti obat (ubad). Tamba menurut pengusada dikelompokkan menjadi serana dan tamba. Tamba adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk menyembuhkan orang sakit, pada umumnya terdiri dari ramuan tumbuh-tumbuhan. Sedangkan serana adalah merupakan alat penghubung antara kekuatan Balian dengan penyebab penyakit yang ada pada pasien.
Bahan Tamba berupa a) tanaman, b) sato (binatang), c) menieral, dan d) mustika (benda yang disucikan atau disimbulkan sebagai kekuatan Tuhan). Mustika biasanya diyakini kekuatan metafisiknya berpengaruh pada ketidak sehimbangan yang terjadi. Umumnya mustika berpengaruh pada keyakinan dan pola pikir pasien. Keyakinan ini akan membantu penyeimbangan pikir, riskadian tubuh, dan hormonal, seperti neurotransmiter dalam sistem syaraf.
Bentuk Tambe berdasarkan konsistensi fisiknya Padet, lembek, dan Enceh. Tamba-tamba tersebut disipkan melalui: Ulig (digerus), Pakpak (dikunyah), Lablab (direbus), Goreng (digoreng), Nyahnyah (dioseng), Tambus (dimasukkan diabu panas), dan Tunu (dipanggang). Cara penggunaan Tamba yang masuk ke dalam tubuh seperti: tetes (diteteskan), tutuh (dimasukan melalui hidung), dan loloh (diminumkan), Sedangkan Tambe untuk bagian luar tubuh digunakan melalui Oles (dioleskan), Boreh (dilulur), Simbuh (disembur), Uap (diurapkan), Usug (dikompres), Ses (pembersihan luka), Limpun (diurut), Kacekel (dipijat), Tampel (ditempel)
Pengusada mengobati klien melalui meditasi atau transfer energi, seperti: meditasi, menghidupkan chakra, menghidupkan aksara dalam diri, dengan dasa bayu, dengan kanda pat, dan lain sebagainya.(*/ika)