Banner Bawah

Sapi, Simbol Sakral Umat Hindu, Wajib Hukumnya Melindungi

Admin - atnews

2025-10-11
Bagikan :
Dokumentasi dari - Sapi, Simbol Sakral Umat Hindu, Wajib Hukumnya Melindungi
Budayawan Putu Suasta (ist/Atnews)

Denpasar (Atnews) - Budayawan Putu Suasta yang juga Pendiri LSM JARRAK dan Yayasan Wisnu mengatakan penganut Sanatana Dharma (Hindu) memiliki penghormatan kepada sapi sebagai hewan suci.

"Sapi memiliki manfaat baik secara spiritual dan material, sapi sungguh bermanfaat bagi sang manusia hingga lingkungan," kata Suasta yang juga Alumni UGM dan Cornell Universty menjelang melakukan Dialog Budaya ke China di Denpasar, Jumat (10/10)

Umat Hindu menyakralkan sapi sebagai sumber kehidupan, bukan hanya menghasilkan berbagai produk susu, tapi juga menjadikan urine atau kencing sapi, bahkan tahi sapi sebagai bahan obat-obatan. 

Ilmuwan modern pernah meneliti, air kencing sapi dan kotoran sapi mengandung zat anti septik yang bisa digunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit.

Sapi betina menghasilkan susu dan sapi jantan membajak sawah/ladang untuk menghasilkan padi, jagung, kedelai dan berbagai biji-bijian lain serta sayur-mayur.

Ada lima jenis produk yang di hasilkan oleh sapi yaitu: susu, yogurt, ghee, kencing sapi dan kotoran sapi.

Maka dari itu, kata Veda, "Gour me mata vrsabhah pita me, sapi betina adalah ibu kita dan sapi jantan adalah ayah kita” (Rg Veda dan Mahabharata Anussasana-Parva section LXXVI).

Bahkan Sapi bertuah secara keseluruhan dan menyediakan makanan bagi para dewa dan manusia. 

Dalam Mahabharata, Sapi harus diperlakukan dengan sopan dan santun. Mereka harus dipelihara dalam kandang khusus. Ketika sakit, mereka harus diobati dengan tepat dan sesuai. Kandang sapi harus bebas dari berbagai jenis hal-hal yang menakutkan. 

Harus diatur sedemikian rupa agar sapi bebas dan jauh dari dingin, panas dan hujan yang berlebihan. Di setiap desa harus ada padang rumput atau tempat untuk mengembalakan sapi.

Menurut Weda, sapi sangat agung dan suci, dihormati sebagai "Aghnya" (tidak boleh dibunuh) karena merupakan lambang kesuburan, kemakmuran, dan sumber kehidupan. 

Sapi sebagai manifestasi dewi-dewi seperti Dewi Aditi dan Dewi Lakshmi, yang menyediakan susu dan tenaganya untuk kehidupan manusia. 

Keagungan sapi juga tercermin dalam purana seperti Kamadhenu, sapi yang mampu memenuhi semua keinginan, dan dalam penggunaan kotorannya untuk upacara dan rumah.

Veda Smrti menyebutkan bahwa sapi adalah salah satu dari 7 (tujuh) ibu dari manusia.

ātma-mātā guroḥ patnī
brāhmaṇī rāja-patnikā
dhenur dhātrī tathā pṛthvī
saptaitā mātaraḥ smṛtāḥ

Diantaranya Ibu kandung (ātma-mātā), Istri dari guru kerohanian (guru patnī), Istri para brāhmaṇa (brāhmaṇī), Ibu negara atau ratu atau istri dari raja atau kepala pemerintahan (raja-patnī), Sapi (dhenur), Bidan/orang yang membantu melahirkan dan yang merawat (dhātrī) serta Bumi/ibu pertiwi (pṛthivī).

Oleh karena sapi adalah ibu dan ayah manusia, maka Veda melarang keras orang membunuh sapi. “Gam ma hinsih, jangan menyembelih sapi (Yajur Veda 13.42). Ma gamanagama-1 ditum vadhista, jangan membunuh sapi (Rg Veda 8.11.15)” Disini sapi disebut anaga, ia yang tidak berdosa. Dan aditim, ia yang tidak boleh dilukai. Ini berarti, “Jangan membunuh sapi yang sama-sekali tidak berdosa”.

Dalam Atharva Veda 9/7/1 sampai 26 dijelaskan, “Semua deva tinggal di dalam badan sapi. Prajapati dan Paramesthi di tanduk-tanduk mereka. Indra adalah kepalanya, Agni adalah dahinya dan Yamaraja adalah tenggorokan. Raja semua bintang (Bulan) adalah otaknya, Dyuloka adalah rahang atasnya dan Bhumi adalah rahang bawahnya. Halilintar adalah lidahnya, para Marut adalah gigi-giginya, bintang Revati adalah tenggorokannya, bintang Krttika adalah bahunya dan musim panas adalah tulang bahunya. Vayu adalah anggota-anggota badannya, tempat tinggalnya adalah surga dan Rudra adalah tulang belakangnya.”

“Burung elang adalah dadanya, langit adalah kekuatannya, Brhaspati adalah punuknya dan chanda yang dikenal Brhati adalah tulang-tulang dadanya. Wanita-wanita di surga adalah punggungnya dan pelayan-pelayan dari wanita-wanita di surga adalah rangka rusuknya. Mitra dan Varuna adalah pundak-pundaknya, Tvasta dan Aryama adalah tangan-tangannya dan Mahadeva adalah lengan-lengannya. Istri deva Indra adalah bagian punggungnya, Vayu adalah ekornya dan Pavamana adalah bulu-bulu tubuhnya. Para Brahmana dan Ksatriya adalah kantong susunya dan Bala adalah paha-pahanya. Brahma dan Deva Matahari adalah kedua lututnya, para Gandharva adalah otot-otot betisnya, para Apsara adalah tulang-tulang kecilnya dan Aditi (ibu para deva) adalah kuku-kukunya.”

“Pikiran adalah jantungnya, kecerdasan adalah perutnya dan sumpah adalah urat darah halusnya. Rasa lapar adalah perutnya, Saraswati adakah usus-ususnya dan gunung-gunung adalah bagian-bagian dalamnya. Rasa marah adalah ginjalnya, rasa sedih adalah uterusnya dan rakyat adalah bagian-bagian reproduktifnya. Sungai adalah rahimnya, musim hujan adalah kantong susunya dan awan adalah puting-putingnya. Energi universal adalah kulitnya dan bintang-bintang adalah kecantikannya. Para deva adalah bagian-bagian pribadinya, umat manusia adalah usus-ususnya dan para yaksa adalah perutnya. Para raksasa adalah darahnya dan makhluk hidup lainnya adalah perutnya. Langit adalah lemaknya dan kematian adalah sumsum tulangnya.” “Ketika sapi duduk, dia adalah bentuk Agni. Ketika dia berdiri, dia adalah bentuk Asvini Kumara. Ketika dia berdiri menghadap timur, dia adalah Indra dan ketika dia berdiri menghadap selatan, dia adalah Yamaraja. Ketika dia berdiri menghadap barat, dia adalah Brahma dan ketika dia menghadap utara, dia adalah deva matahari. Ketika makan rumput, dia adalah bentuk dari bulan, dan ketika memandang, dia adalah deva Mitra. Ketika berputar, dia adalah kebahagiaan. Ketika dia dalam wujud seekor sapi jantan, menarikgerobak maupun bajak, dia adalah Visvadeva. Ketika membajak, dia adalah Prajapati dan ketika dibiarkan lepas, dia adalah segalanya. Inilah bentuk universal sapi. Orang yang dengan baik memahami bentuk universal sapi ini memiliki berbagai jenis binatang peliharaan. 

Brhat Parasara-smrti (5.34 – 41) menyatakan: “Deva Brahma tinggal pada akar tanduk-tanduk sapi dan Sri Narayana tinggal pada bagian tengahnya. Pada bagian ujungnya bertempat Deva Siva. Dengan cara seperti ini ketiga kepribadian tersebut tinggal pada tanduk-tanduk sapi. Semua tempat suci terletak pada bagian depan tanduknya. Sesungguhnya semua deva tinggal dalam tubuh sapi.”

“Devi Parvati tinggal pada dahinya. Kartikeya tinggal di hidungnya dan pada dua telinganya adalah tempat tinggal dua Naga yang bernama Kambala dan Asvatara. Pada mata kanan sapi Surabhi bertempat tinggal deva Matahari dan pada mata kirinya bertempat tinggal Deva Bulan. Pada gigi-giginya adalah tempat tinggal delapan Vasu dan pada lidahnya bertempat tinggal Deva Varuna. Devi Sarasvati tinggal pada suaranya. Yama dan Yaksa tinggal di dua pipinya. Para rsi tinggal pada pori-pori tubuhnya dan sungai Gangga yang suci adalah air kencingnya. Yamuna tinggal di tahinya.” “Dua ratus delapan puluh juta deva tinggal pada pori-pori kulitnya. Agni tinggal pada perutnya dan Daksin Agni pada jantungnya. Ahavaniya Agni pada mulutnya dan pada rusuknya adalah tempat tinggal Sabhya Agni dan Avasathya Agni. Dengan demikian, orang yang memahami bahwa semua deva tinggal pada badan sapi sehingga tidak memperlihatkan sikap marah terhadap sapi bisa mencapai kemewahan dan tempat tinggal di surga.” 

Padma Purana, Sristi Khanda (57.156 – 165) menyatakan: “Seluruh kesusastraan Veda tinggal di dalam mulut sapi. Pada tanduk-tanduknya Sri Visnu dan Sankara. Kartikeya tinggal pada perutnya, Brahma pada kepalanya, Mahadeva pada dahinya, Indra pada ujung tanduknya, Asvini Kumara pada dua telinganya, matahari dan bulan pada kedua matanya dan Garuda pada gigi-giginya. Devi Sarasvati pada lidahnya, semua sungai suci pada anusnya, Sungai Ganga tinggal pada vaginanya, para rsi tinggal pada pori-pori kulitnya dan Yamaraja tinggal pada wajahnya.” “Varuna dan Kuvera tinggal pada bagian kanan punggungnya, Yakga dan Tejasvi pada bagian kiri punggungnya, para Gandharva tinggal di mulutnya dan para Naga tinggal pada ujung hidungnya. Para Apsara tinggal pada bagian belakang kuku-kukunya. Laksmi tinggal pada tahinya, Parvati pada air kencingnya, para deva yang berterbangan di angkasa tinggal di bagian depan kaki-kakinya, Prajapati tinggal pada suaranya dan empat lautan tinggal pada kantong susunya.”

“Orang yang menyentuh sapi setiap hari setelah mandi bebas dari segala reaksi dosa. Orang yang mengolesi dirinya debu dari kuku-kuku sapi dinyatakan telah mandi di semua tempat suci. Orang seperti itu bebas dari semua jenis dosa.” Bhavisya-Purana, Uttara Parva (61.25 – 37) menyatakan: “Deva Brahma dan Sri Visnu tinggal pada akar tanduk sapi, semua tempat suci ada pada ujung tanduknya, Mahadeva tinggal bagian tengah tanduknya, Gauri tinggal pada dahinya, Kartikeya tinggal pada ujung hidungnya dan dua Naga, Kambala dan Asvatara tinggal pada kedua lubang hidungnya. Asvini Kumara tinggal pada dua kupingnya, matahari dan bulan tinggal pada matanya, delapan Vasu tinggal pada gigi-giginya, Varuna tinggal pada lidahnya, Sarasvati pada kerongkongannya, Yama dan Yaksa pada dua pipinya, pagi dan malam ada pada dua bibirnya, Indra pada bahunya, para raksasa pada punuknya, langit tinggal di tumitnya dan Dharma pada empat kakinya.” “Para Gandharva tinggal pada bagian tengah kuku-kukunya, para ular tinggal pada bagian depan kuku-kukunya dan para raksasa tinggal pada bagian belakang kuku-kukunya. Sebelas Rudra tinggal pada punggung sapi, Varuna pada semua sendinya, para leluhur pada pinggang, manusia pada pipi-pipinya dan Sri pada anusnya. Sinar matahari berada pada rambutnya, Ganga berada pada air kencingnya dan Yamuna pada tahinya.” “Tiga puluh tiga juta deva tinggal pada pori-pori rambut tubuhnya. Gunung dan Bumi bertempat pada perutnya dan empat samudra pada empat putingnya. Deva Parjanya tinggal pada susunya dan awan bertempat pada tetesan-tetesan susunya. Para Garhapatyagni tinggal pada perutnya, Daksinagni pada tenggorokannya dan Sabhyagni pada langit-langit mulutnya. Gunung-gunung tinggal pada tulang-tulangnya dan kurban suci tinggal pada sumsum tulangnya. Empat Veda juga bertempat dalam tubuh sapi.” 

Brahmanda-purana menyatakan: “O Penguasa alam semesta, Narayana! Hamba menyampaikan sembah sujudku kepada-Mu. Pada zaman dahulu, Srila Vyasadevamengucapkan Gosavitri stotra. Sekarang aku akan menguraikannya. Doa kepada sapi ini menghancurkan semua reaksi dosa dan memenuhi keinginan seseorang. Oleh karena itu, doa ini sangat bertuah. Vedavyasa sendiri yang inkarnasi Sri Visnu tinggal di ujung tanduk-tanduk sapi. Parvati bertempat pada akar tanduk-tanduknya, Sadasiva bertempat pada bagian tengah tanduknya, Brahma di kepalanya, Brhaspati di bahunya, Sankara di dahinya dan Asvini Kumara di telinga-telinganya, Matahari dan Bulan di mata-matanya, para rsi di gigi-giginya, Sarasvati di lidahnya dan semua deva di dadanya.” “Para Gandharva tinggal di bagian tengah kukunya, Bulan dan Ananta tinggal di bagian depan kukunya, dan para Apsara tinggal di bagianbelakang kukunya. Para leluhur tinggal di punggungnya, tiga sif at alam tinggal di alis-alisnya, para rsi tinggal di pori-porinya, Prajapati tinggal di kulitnya, langit tinggal di dagunya, Yamaraja tinggal di punggungnya, semua tempat suciberada di anusnya dan Ganga hadir di air kencingnya. LaksmI bertempat pada pandangannya, punggungnya dan tahinya. Asvini Kumara tinggal di dua lubang hidungnya dan Candikaka tinggal di bibirnya. Empat samudra bertempat di kantung susunya, Savitri dan Prajapatika hadir pada suaranya. Sesungguhnya, sapi juga adalah bentuk Sri Visnu secara langsung, Sri Kesava hadir di seluruh tubuhnya.”

Skanda-purana, Avantya Khanda, Reva Khanda, Bab 83 menyatakan: “Semua deva tinggal di tubuh sapi dan semua Veda ada pada tahinya. Indra tinggal pada ujung tanduk-tanduknya, Kartikeya di jantungnya, Brahma di kepalanya, Sankara di dahinya, Matahari dan Bulan di kedua matanya, Sarasvati di lidahnya, para Marut di gigi-giginya, empat Veda pada suaranya, para rsi di pori-pori tubuhnya dan samudra di kantung susunya.” “Air kencingnya berasal dari kaki padma Sri Visnu dan hanya melihatnya saja, seseorang bisa menghancurkan reaksi-reaksi dosanya. LaksmI tinggal di tahinya, para Gandharva, Apsara dan Naga tinggal di ujung kuku-kukunya. Semua tempat suci dan sungai suci juga hadir dalam badan sapi. Sri Visnu adalah sumber semua deva dan sapi terlahir dari badan Sri Visnu. Oleh karena itulah mengapa umat manusia menganggap semua deva ada dalam sapi.” Mahabharata, Asvamedha Parva, Vaisnava-dharma Parva, Bab 92 menyatakan: Sri Krsna bersabda kepada Maharaja Yudhisthira, “Wahai Raja, ketika seekor sapi berwarna coklat diberikan kepada seorang brahmana sebagai sumbangan, pada saat itu, Sri Visnu dan Indra tinggal pada ujung tanduk-tanduknya. Indra dan Bulan tinggal pada akar tanduk-tanduknya, Brahma tinggal pada bagian tengah tanduknya, Sankara tinggal pada dahinya, Asvini Kumara tinggal di telinganya dan matahari dan bulang tinggal di kedua matanya, para Marut tinggal di gigi-giginya, Sarasvati tinggal di lidahnya, para rsi tinggal di pori-porinya, Prajapati di kulitnya dan semua kesusastraan Veda hadir pada nafasnya.” “Bau keharuman bunga hadir pada lubang hidungnya. Para Vasu tinggal di bibirnya dan Agni tinggal di mulutnya. Para Deva Sadhya tinggal pada rangka rusuknya. Parvati tinggal di tenggorokannya, bintang-bintang tinggal di punggungnya, langit tinggal di punuknya, semua tempat suci tinggal di anusnya, Ganga hadir langsung di air kencingnya dan LaksmI berada pada tahinya. Devi yang paling cantik, Jyestha tinggal di hidungnya, para leluhur tinggal di kantung susunya dan Devi Rama tinggal pada ekornya. Para visvadeva tinggal pada kedua bagian tulang rusuknya. Kartikeya tinggal di dadanya dan lima jenis udara yang ada pada tubuh ada pada lutut dan pahanya. Para Gandharva tinggal di bagian tengah kukunya, para Naga tinggal pada bagian depan kukunya dan empat samudra tinggal di empat puting susunya.”

Dengan demikian, Mahabharata, Santi Parva 262.47, juga menyatakan, bahwa sapi merupakan binatang yang tidak boleh dibunuh (Aghnya iti gavam nama, ka etam hantum arhati, mahaccakara kusalam, vrsam gam valabhetti yah).

Begitu mulianya sapi, ketika Sri Krsna turun ke bumi pun melakukan perlindungan kepada sapi. Dalam Srimad Bhagavatam 3.2.32 disebutkan: 

ayājayad go-savena
gopa-rājaṁ dvijottamaiḥ
vittasya coru-bhārasya
cikīrṣan sad-vyayaṁ vibhuḥ

Sri Kṛṣṇa, ingin memanfaatkan kekayaan Mahārāja Nanda untuk memuja sapi, dan Krsna juga ingin memberikan pelajaran kepada Indra, Raja Surga. Karena itu, Krsna menasihati ayah-Nya untuk memuja go, atau padang rumput dan sapi, dengan bantuan para brāhmaṇa terpelajar.

Nanda Mahārāja adalah seorang tuan tanah yang kaya dan pemilik banyak sapi, dan, sesuai adat istiadat, Nanda Mahārāja biasa melakukan pemujaan tahunan kepada Indra, Raja surga, dengan sangat mewah. 

Pemujaan para dewa oleh masyarakat umum ini juga dianjurkan dalam kitab suci Weda agar orang-orang dapat menerima kekuatan Tuhan Yang Maha Esa. Para dewa adalah hamba Tuhan yang ditugaskan untuk mengurus pengelolaan berbagai kegiatan urusan universal.

Sri Kṛṣṇa mengajarkan masyarakat manusia, sebagaimana yang telah diajarkan juga dalam Bhagavad-gītā. Para vaisya secara khusus dianjurkan untuk melindungi sapi dan padang rumput atau lahan pertanian mereka alih-alih menghambur-hamburkan uang hasil jerih payah mereka. Hal itu akan memuaskan Tuhan atau pencipta. Kesempurnaan tugas pekerjaan seseorang, baik dalam lingkup tugas terhadap diri sendiri, komunitas, maupun bangsa, dinilai dari sejauh mana Tuhan merasa puas.

Menurut keyakinan Hindu, Sri Krsna muncul ke dunia lebih memementingkan sapi dari semua makhluk hidup lainya termasuk para brahmana.

Krsna tidak hanya melindungi penduduk Vraja, Dia juga menampilkan bahwa melayani sapi adalah pekerjaan utama para Vrajavasi. Hal ini dinyatakan dalam Srimad-Bhagavatam (10.24.21):

kåñi-väëijya-go-rakñä
kusédaà türyam ucyate
värtä catur-vidhä tatra
vayaà go-våttayo 'niçam.

“Pekerjaan para vaisya terbagi dalam empat bagian: bertani, berdagang, melindungi sapi dan meminjamkan uang. Dari empat ini, kita sebagai masyarakat yang selalu sibuk dalam melindungi sapi.”

Sri Krsna melindungi selalu sapi ketika sapi menghadapi bahaya. Krsna selalu memperhatikan sapi dan kebahagiaan para Brajavasi. Krsna membunuh Aghasura dan menyelamatkan anak-anak gembala sapi dan anak-anak sapi dari mulut raksasa tersebut. Krsna menghukum Kaliya dan membuat air sungai Yamuna dan padang rumput bebas dari racun. 

Bahkan menelan api kebakaran hutan sebanyak dua kali dan menyelamatkan semua penduduk Vraja termasuk semua sapi. Semua lila-Nya dijelaskan dalam Srimad-Bhagavatam.

Selain itu, ajaran penghormatan kepada sapi di dalam Kakawin Ramayana yang cukup panjang. 

Sedangkan Darmayasa dalam terbitan Koran Bali Post, Minggu Pon, 2 Juni 2017 terungkap di Bali terdapat tradisi menyertakan Paňca-gavya dalam upacara “karya agung”, yang tanpa kelengkapannya “karya agung” dianggap tidak berhasil sempurna. 

Terdapat pula praktik-praktik spiritual yang dihubung-hubungkan dengan kemuliaan sapi. Kitab Mahabharata bahkan menyebutkan pengkikisan reaksi-reaksi dosa dengan pelaksanaan sumpah suci Brata selama setahun dengan cara memberikan makanan pertama kepada sapi milik orang lain, setelah itu barulah orang boleh makan. 

Kitab suci Dharma Sastra juga menyebutkan pemakaian Panca-gavya mampu membakar dosa-dosa yang dilakukan orang sebagaimana kayu bakar menjadi hangus terbakar oleh nyala api (yat tvagasthigatam papam dehe tisthati mamake, prasanat paňca gavyasya dhatvagnirivendhanam).

Masyarakat Bali “kaya tradisi”, khususnya tradisi indah menghormati sapi. “Sesana” atau aturan-aturan ke-brahmana-an tidak membenarkan seseorang brahmana mempunya musuh. Aka tetapi, para Brahmana Bali justru harus mempunya “musuh”, dalam hal ini, “musuhnya” para Brahmana di Bali adalah daging sapi. Artinya, tidak ada Brahmana di Bali yang berani memakan daging sapi. Jika ada Brahmana memakan daging sapi, mereka akan merasa sangat malu berada di tengah-tengah masyarakatnya dan “pengadilan umum” menyatakan mereka menjadi Brahmana Patita, artinya yang bersangkutan jatuh sangat berarti dari level ke-brahmana-annya.

Demikian ketat dan jujurnya orang Bali dahulu menghormati sapi. Ternyata tradisi indah tersebut bersumberkan pada ajaran suci Veda dan juga lontar-lontar leluhur.

Orang-orang Bali mempunyai tradisi indah, yaitu tidak melangkahi tali pengikat sapi yang melintang di tengah jalan yang mereka sedang lewati. Jika harus berjalan melewatinya maka orang akan mengangkat tali pengikat sapi tersebut dan berjalan merunduk “masulub” di bawah tali sapi tersebut.

Almarhum Pedanda Oka Punia Atmaja semasih walaka dan menjadi anggota DPR-RI, ketika kami bertemu beliau di ruanggannya di kantor DPR RI, Jakarta, dengan begitu semangat menyampaikan bahwa beliau pernah “kecelakaan” memakan daging sapi. Begitu orang tuanya mengetahui, beliau dimarahi dan langsung diajak bersembahyang memohon pengampunan di Merajan, lalu disuruh membuka mulut, dan sambil mengucapkan mantram penyucian orang tuanya memercikkan air suci (tirtha) ke mulutnya.

Tradisi indah lain sehubungan dengan sapi yang dimiliki leluhur Bali adalah mereka yang karena satu dan lain hal mengalami “kecelakaan” memakan daging sapi di luar desanya, mereka tidak boleh langsung memasuki area desanya. Terdapat “awig-awig” tertulis atau tidak tertulis yang melarang orang memasuki area desa, alias tidak boleh pulang ke rumahnya. “Awig-awig” mengharuskan yang bersangkutan untuk mandi dan keramas di sungai/pancuran di luar desa, hanya setelah itu yang orang yang memakan daging sapi tersebut boleh memasuki area desa. Kalau tidak, desa akan menjadi “leteh” (tercemar, kotor).

Lontar yang memuliakan sapi dalam tradisi Bali adalah Lontar Sundarigama, yang menjelaskan tentang upacara Tumpek Uye (atau Tumpek Kandang) untuk menghormati hewan. 

Pada hari tersebut, sapi dan hewan lainnya diupacarai sebagai bentuk pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang diwujudkan sebagai Rare Angon, sang penggembala semua makhluk. 

Lontar ini menekankan pentingnya menjaga keharmonisan dengan semua makhluk ciptaan Tuhan. Dalam ajaran Hindu Bali, upacara ini juga penting karena hewan, terutama sapi, memiliki peran krusial dalam kehidupan masyarakat agraris. 

Pemeliharaan sapi perah juga bukan hal baru bagi Bali. Pasraman Guru Kula Bangli yang memelihara sapi perah yang merupakan mendapatkan hibah dari Pemerintah Pusat. Sapi perah itu untuk menghasilkan susu untuk memenuhi gizi anak pasraman.

Menurut Veda (khususnya Ayurveda), susu, terutama susu sapi, memiliki manfaat untuk memelihara kesehatan tubuh, memperkuat kekebalan tubuh (ojas), dan sebagai pengobatan. 

Susu memiliki efek menenangkan yang dapat meredakan masalah terkait Pitta seperti panas lambung dan tukak. Selain itu, susu juga diyakini dapat membantu membentuk massa otot dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh, karena mengandung nutrisi seperti vitamin A, D, seng, dan selenium. 

Susu diminum oleh para bhakta (penyembah) untuk memelihara kesehatan tubuh dan digunakan sebagai bagian dari pengobatan. 

Termasuk kedatangan Maha Rsi Markandeya dari India yang membawa sapi putih sebagai sarana upacara ke Bali. 

Sapi putih ini dianggap keramat, menjadi pelinggih (tempat bersemayam) Dewa Siwa, dan disakralkan oleh masyarakat Desa Taro, Gianyar serta harus ada dalam upacara besar. Saat ini sapi putih yang disucikan, dan tempat ini juga menjadi objek wisata spiritual dan pengobatan alternatif.  

Sapi taro, atau lebih dikenal sebagai lembu putih bagai lembu putih, adalah sapi suci yang dianggap sebagai kendaraan Dewa Siwa di Bali, yang dipercaya tiba di Desa Taro sekitar abad ke-7 bersama kedatangan Rsi Markandya. Kedatangan ini secara historis dikaitkan dengan sejarah Desa Taro itu sendiri. 

Sapi-sapi ini disucikan oleh masyarakat setempat dan dilestarikan di Desa Taro untuk keperluan upacara adat, dengan statusnya yang dianggap kritis karena populasinya yang rendah.  

Lembu putih dianggap sebagai hewan yang sangat suci dan suci dalam budaya Bali. 

Sapi ini memiliki peran penting dalam upacara-upacara adat dan tidak boleh disembelih. Kotorannya juga dipercaya memiliki manfaat spiritual. 
Beberapa orang percaya bahwa menyentuh atau berinteraksi dengan lembu putih dapat menyembuhkan atau membawa keselamatan dan kesembuhan. 

Menurut Veda dan pandangan Hindu, menyumbangkan atau merawat sapi memberikan banyak manfaat spiritual, ekologis, dan ekonomi, karena sapi dianggap sebagai simbol kehidupan, sumber nutrisi, dan bantuan pertanian. 

Manfaat ini termasuk mendapatkan pahala spiritual, membantu kesuburan tanah, menjaga keseimbangan ekologi, dan menyediakan produk vital seperti susu untuk konsumsi dan ritual, serta kotorannya untuk bahan bakar dan pupuk. 

Bahkan Raja di Nusantara memberikan hadiah sapi kepada kaum Brahmana sebagai bentuk penghormatan, yang tercatat dalam prasasti-prasasti kuno. 

Contohnya, Raja Mulawarman dari Kerajaan Kutai dihadiahi 20.000 ekor sapi, dan Raja Purnawarman dari Tarumanagara menghadiahkan 1.000 ekor sapi.  

Raja Mulawarman: Raja dari Kerajaan Kutai ini tercatat dalam Prasasti Yupa sebagai seorang yang dermawan karena telah menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana. Hal ini menjadi bukti kedermawanan dan kebijaksanaan raja. 

Raja Purnawarman: Raja dari Kerajaan Tarumanagara ini tercatat dalam Prasasti Tugu bahwa ia mempersembahkan 1.000 ekor sapi kepada para Brahmana sebagai bagian dari upacara keagamaan. 

Sementara India berkomitmen dalam hal perlindungan terhadap sapi. Kehidupan sapi secara sah dilindungi di seluruh daerah minoritas India di 28 negara bagian serta tercatat dalam Aksi Pencegahan Kekejaman terhadap Tindakan Binatang (PCA) 1960. Membunuh sapi bahkan dilarang dalam konstitusi nasional.

Artikel 48 negara bagian menyebutkan: “Negara bagian mencoba atau megatur pertanian dan peternakan dengan kecanggihan ilmiah, khususnya mengambil langkah-langkah pemeliharaan, meningkatkan pengembangbiakan, serta melarang pembunuhan sapi, anak sapi, maupun pemberi susu lainnya saat terjadi kekeringan di peternakan.”

Dalam tadisi Hindu, membunuh atau menyakiti sapi adalah dosa besar, setara dengan dosa membunuh brahmana atau janin.

Membunuh sapi dianggap sangat tercela dan dosanya setara dengan membunuh brahmana atau janin, seperti yang disebutkan dalam Kitab Manu Samhita. 

Sedangkan, melukai atau membunuh sapi dianggap sebagai tindakan berdosa karena itu melanggar kesucian dan peran vitalnya dalam kehidupan, yang diyakini dapat membawa murka para dewa, seperti yang diungkapkan dalam Atharvaveda. 

Akademisi Prof. I Gede Sutarya mengharapkan sapi sebagai hewan suci yang patut dilindungi.

Sapi juga sebagai penyelamat lingkungan,  dihormati sebagai simbol kesuburan, kemakmuran, dan sumber kehidupan yang mendukung alam semesta.

Penghormatan terhadap sapi ini secara tidak langsung mendorong praktik pelestarian lingkungan, karena sapi adalah simbol dari kelangsungan hidup dan kemakmuran yang dibutuhkan oleh bumi dan manusia. 

"Sapi itu penyelemat lingkungan. Berdasarkan penelitian di India, penggunaan tahi sapi sebagai bahan bakar menyelematkan penebangan hutan untuk kayu bakar," kata Prof. Sutarya yang juga Dosen UHN IBG Sugriwa di Denpasar, Jumat (10/10).

Untuk itu, penganut Sanatana Dharma (Veda) melindingi sapi berfungsi untuk kehidupan melalui susunya, membantu kerja dan tainya menyelematkan lingkungan.

"Jadi tak salah, Veda melindungi sapi karena berfungsi untuk kehidupan melalui susunya, membantu kerja dan tainya menyelematkan lingkungan," ujarnya.

Sebelumnya, Intelektual Hindu Jro Gde Sudibya mengatakan, Slsapi secara teologi Veda/Vedanta binatang suci, mesti dumuliakan dan semestinya dilindungi. Secara teologi, bermanfaat atau tidak Sapi bagi kehidupan dan alam, Sapi wajib dilindungi, tanpa argumentasi.

Pendekatan teologi yang sifatnya deduktif, diyakini dan kemudian diterima, memperoleh penguatan dan bahkan pembenaran (spiritual justification), dalam Pendekatan empiris induktif, karena Sapi sangat berguna buat kehidupan.

Menurut para pakar peternakan, kandungan susu sapi 98 persen susu Ibu, berperan besar bagi kesehatan bayi dan pertumbuhannya.

Menurut beberapa catatan Ayur Vedic, aroma limbah Sapi dalam lingkungan yang bersih, berkontribusi dalam pengobatan penyakit paru-paru.

Produk Sapi, susu dan sejenisnya, limbah yang dikeringkan berperan sebagai sarana upakara jajna.

Pengalaman banyak petani di Bali, pemupukan berbasis limbah Sapi yang diproses secara alami, dalam bentuk bio urine, tidak saja meningkatkan produktivitas tanaman, tetapi menstimulasi vibrasi lingkungan dengan nuansa bersih-murni dan spiritualitas.

Menurut Badan Lingkungan PBB, 56 persen tutupan permukaan daratan bumi untuk produksi peternakan termasuk Sapi. Kotoran ternak ini berkontribusi besar dalam peningkatan suhu bumi. Dalam realitas global ini, pilihan  hidup vegetarian memperoleh pembenaran secara moral.

Dalam pengamatan sepintas terhadap kegiatan peternakan sapi perah di Daerah Pujon, Malang, Jawa Timur, perkebunan tebu dan sawah sangat subur akibat pemupukan limbah Sapi yang berkelanjutan.

Koperasi Peternakan Sapi Perah Pujon di masa lalu memberikan kesejahteraan yang lumayan buat anggota koperasi peternak sapi perah. Aneka penganan di seputar koperasi dipenuhi dengan penganan berbasis susu sapi, yang setiap hari dikonsumsi oleh masyarakat terutama anak-anak kecil dan para remaja. Konsumsi gizi yang berkontribusi signifikan bagi tumbuh-kembangnya anak dan para remaja.

Bali semestinya mengembangkan peternakan sapi perah, dengan perencanaan yang matang dengan visi masa depan. (GAB/001)
Banner Bawah

Baca Artikel Menarik Lainnya : Pariwisata Program Unggulan Badung

Terpopuler

Bali Kebanjiran Timbulkan Kerusakan dan Trauma, Apa Strategi Mitigasi Pasca Rekor Hujan Ekstrem 10 September?

Bali Kebanjiran Timbulkan Kerusakan dan Trauma, Apa Strategi Mitigasi Pasca Rekor Hujan Ekstrem 10 September?

Garuda Wisnu Kencana dan Perubahan Sosial di Bali

Garuda Wisnu Kencana dan Perubahan Sosial di Bali

Undangan

Undangan

Perlindungan Sapi, Selamatkan Lingkungan

Perlindungan Sapi, Selamatkan Lingkungan

Pemuliaan Sapi, Pendekatan Teologi, Bukti Empirik dari Pendekatan Induktif

Pemuliaan Sapi, Pendekatan Teologi, Bukti Empirik dari Pendekatan Induktif

Sapi, Simbol Sakral Umat Hindu, Wajib Hukumnya Melindungi

Sapi, Simbol Sakral Umat Hindu, Wajib Hukumnya Melindungi