Denpasar (Atnews) - Pemerhati Lingkungan IGN Wiranatha mengatakan salah satu parameter dalam menjaga keseimbangan ekologis dan fungsi "daya dukung" lingkungan, secara ideal perlu ditopang oleh kawasan lindung minimal 30 persen dari luas wilayah.
Ketegasan penetapan dan penerapan kawasan lindung di Bali menjadi suatu yang sangat esensial, walaupun dalam kondisi dilematis ditengah pesatnya dinamika pembangunan.
Hal itu mengingat posisi dan keadaan geografis Pulau Bali yang dari segi neraca air termasuk daerah kritis air, dan dari segi bentang alam sebagian besar daerahnya bergelombang hingga bergunung yang rentan longsor, banjir dan kekeringan.
Bila pihaknya telusuri "political will' yang termuat dalam Perda RTRWP Bali dari periode ke periode terkait rencana pengembangan kawasan lindung.
Dalam Perda RTRWP Bali No 16/2009 yakni: 1) Rencana pengembangan kawasan lindung yang dapat dipetakan seluas 31,2 persen; 2) Data tersebut berasal dari kawasan hutan yang sebagai kawasan lindung sekitar 21 persen; 3) Dan di luar kawasan hutan sebagai kawasan lindung sekitar 10 persen.
Perda RTRWP Bali No 3/2020 yakni 1) Rencana kawasan peruntukan lindung yang dapat dipetakan seluas 23,09 persen; 2) Data tersebut berasal dari kawasan hutan yg sebagai kawasan lindung sekitar 21 persen; 3) Dan di luar kawasan hutan sebagai kawasan lindung sekitar 2 persen.
Perda RTRWP Bali No 2/2023 yakni 1) Dalam Perda ini tidak disebut secara tegas persentase rencana pengembangan kawasan lindung yang dapat dipetakan; 2) Kawasan lindung yang sudah pasti datanya berasal dari kawasan hutan sekitar 21 persen terdiri dari hutan lindung sekitar 17 ℅ dan kawasan hutan konservasi sekitar 4 ℅ yaknu Taman Nasional Bali Barat (TNBB), Taman Wisata Alam (TWA) dan Taman Hutan Raya (Tahura); 3) Kawasan lindung diluar kawasan hutan seperti wilayah DAS (sempadan sungai dan sempadan jurang), daerah resapan air, jalur hijau, ruang terbuka hijau, sempadan pantai dan lainnya belum tegas disebut luasnya.
Dari kebijakan tersebut tercermin adanya penurunan dan ketidaktegasan dalam menyikapi keberadaan kawasan lindung untuk menjaga keseimbangan ekologis dan fungsi "daya dukung" lingkungan dalam pengendalian dan penyelamatan lingkungan di Bali.
"Kawasan lindung di Bali sudah saatnya dipikirkan kembali secara kuantitas dan kualitas fungsinya," kata Wiranatha di Dnepasar, Kamis (9/10).
Tidak cukup mengandalkan kawasan lindung yang hanya berasal dari dalam kawasan hutan tanpa dibarengi penegasan di luar kawasan hutan.
Oleh karena, dalam kawasan hutan sudah mulai adanya sentuhan budidaya perhutanan sosial dan jenis kerjasama pemanfaatan lainnya.
Memperhatikan keberadaan kawasan lindung terkait bencana banjir yang terjadi di Bali pada 10 September 2025 dan terlepas dari faktor alam, suatu pertanda belum optimalnya pengelolaan DAS.
Padahal dua institusi pusat yang ada di daerah sebagai "pendamping penjaga DAS" yakni BWS Bali-Penida (Kementerian PUPR) dan BPDAS Unda-Anyar Bali (Kementerian Kehutanan) se-olah-olah tidak mampu berbuat banyak dan/atau karena mungkin Pemerintah Daerah Prov/Kab/Kota selaku tuan rumah "pemilik DAS" tidak tegas menerapkan sempadan sungai, sempadan jurang, daerah resapan air dll pada DAS sebagai kawasan lindung.
"Semoga menjadi perhatian bersama para pengambil kebijakan, rahayu," pungkasnya. (GAB/001)