Mangku Pastika Kembali Raih Gelar Doktor, Disertasi; Menapak Tilas Jejak Ajaran Veda: Studi Implementasi Pada Umat Hindu di Bali
Admin - atnews
2025-07-18
Bagikan :
Komisaris Jendral Polisi (Purn) Dr Dr. Drs.Made Mangku Pastika MM., (Artaya/Atnews)
Denpasar (Atnews) - Komisaris Jendral Polisi (Purn) Dr. Drs. Made Mangku Pastika MM., Gubernur Bali dua periode 2008 – 2018 dan Mantan Anggota DPD RI Dapil Bali kembali meraih Gelar Doktor Ilmu Agama dengan nilai tertinggi IPK 4.0 (predikat Sangat Memuaskan) di UHN I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar, usai Ujian Terbuka di Kampus UHN IGB Sugriwa Denpasar, Kamis (17/7).
Mangku Pastika meraih gelar Doktor ke-162 dengan Disertasi berjudul "Menapak Tilas Jejak Ajaran Veda: Studi Implementasi Pada Umat Hindu di Bali".
Dengan Promotor Prof. Dr. Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si yang juga Rektor UHN IGB Sugriwa Denpasar dan Kopromotor Prof. Dr. Made Sri Putri Purnamawati, S.Ag., M.A., M. Erg.
Dewan Penguji yakni Prof. Dr. Dra. Relin D.E., M. Ag, Prof. Dr. I Nyoman Alit Putrawan, S.Ag., M. Fil.H, Prof. Dr. I Nyoman Subagia, S.Ag., M. Ag, Prof. Dr. Drs. I Made Surada, M.A, Dr. I Made Dian Saputra, S.S., M. Si, Prof. Dr. Dra. Ni Ketut Srie Kusuma Wardhani, M. Pd dan Prof. Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M. Hum.
Acara itu dihadiri oleh Ida Rsi Putra Manuaba, Pengelana Global Putu Suasta, Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, Ketua PHDI Bali Nyoman Kenak, Gede Pasek Suardika, Ketut Ngastawa, Nyoman Wiratmaja, Nyoman Baskara, Agus Maha Usadha, Wayan Sayoga, I Nyoman Sender.
Sebelumnya juga, Mangku Pastika telah meraih Doktor alumni Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Udayana atas nama dengan disertasinya yang berjudul “Pengaturan Kebebasan Pers dalam Penyelenggaraan Perdagangan Jasa Pariwisata Berkelanjutan” dengan memperoleh IPK 3,98.
Mangku Pastika menegaskan, terdapat banyak bukti bahwa Veda sebagai sumber ajaran Sanatana Dharma yang belakangan disebut sebagai Agama Hindu telah tersebar di Nusantara jauh sebelum tahun Masehi sebagaimana dikisahkan dalam kitab Ramayana.
Namun demikian, karena tidak ditemukankan artefak terkait kisah kedatangan pasukan Rama ke Nusantara, maka para ahli sejarah sesuai dengan framework ilmu Sejarah, para sejarawan tidak sepakat menerima kisah pasukan Rama yang dikisahkan datang ke Svarnadvipa (Sumatera), Javadvipa (Jawa), Sulawesi, dan Irian serta daerah lainnnya yang dikisahkan dalam Ramayana.
Para sejarawan sepakat dan menyimpulkan bahwa Agama Hindu yang ada di Nusantara atau Indonesia berasal dari India yang awalnya sampai di Kalimatan sejak awal abad Masehi, tepatnya pada abad IV.
Agama Hindu atau Sanatana Dharma telah menyebar dalam bentang waktu sangat panjang hingga beribu- ribu tahun sejak zaman Veda, zaman Brahmana, zaman Upanisad, hingga zaman Tantrayana.
Agama Hindu diturunkan di Lembah Sungai Sindhu, India, kemudian menyebar ke Lembah Sungai Gangga dan Lembah Sungai Yamuna. Selanjutnya menyebar ke India Selatan sampai ke Nusantara atau Indonesia.
Berdasarkan catatan dalam buku-buku sejarah yang ditulis oleh para pakar sejarah yang diakui oleh dunia menyebutkan memang benar Hindu yang berasal dari India telah menyebar di seluruh Nusantara dibuktikan dengan adanya Kerajaan Hindu di Kalimantan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Banyak bukti peninggalan kejayaan Agama Hindu berupa reruntuhan kerajaan, candi, prasasti, lontar, dan pola kehidupan masyarakat berupa ritual, kebudayaan seperti bahasa, aksara dan sistem kalender.
Atas catatan-catatan manuskrip yang ditulis di atas daun lontar, kayu, logam dan prasasti batu, maka para sejarawan Barat dan Timur sepakat mendirikan suatu teori tentang Teori Penyebaran Agama Hindu yang meinyatakan bahwa Hindu berasal dari India kemudian menyebar ke Nusantara sebagaimana teori yang dibangun oleh Mookerjee seorang ilmuwan Timur asal India.
Teori Mookerjee tersebut menjadi unsur dominan yang me- warnai pemikiran para sejarawan Barat. Oleh sebab itu para penulis sejarah baik penulis Barat maupun Timur lebih banyak memilih Teori Mookerjee yang digunakan untuk menganalisis sejarah kedatangan Agama Hindu ke wilayah Nusantara termasuk ke Bali.
Dalam Disertasi saat ini, Mangku Pastika merumuskan tiga permasalahan terkait bukti ajaran Veda tersebar di Nusantara hingga ke Bali dan munculnya dikotomi antara Hindu India versus Hindu Bali serta strategi tokoh Hindu mengurangi intensitas dengan implikasi dikotomi ajaran Hindu Bali dan ajaran Hindu India terhadap umat Hindu di Bali.
Mangku Pastika menyebutkan narasi dikotomi Hindu Bali dan Hindu India berdampak sangat buruk di mata nasional dan internasional. Hal tersebut akan menghapus citra Agama Hindu yang ramah, damai, tenggang rasa, beradab, sopan santun dan predikat Agama Hindu sebagai agama yang paling toleran di muka bumi.
Untuk itu, isu dikotomi Hindu Bali dan Hindu India harus segera dicarikan solusinya dengan cara membuat Mahasabha atau Pertemuan Besar, yang melibatkan unsur Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat (PHDI Pusat), Majelis Desa Adat Provinsi Bali, Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama RI, Prajaniti Pusat, Peradah Pusat, KMHDI Pusat, ICHI Pusat, Empat Belas Pimpinan Perguruan Tinggi Agama Hindu dan para Akademisi Hindu yang memiliki kualifikasi keilmuan Hindu menyangkut teologi, filosofi serta sosiologi Hindu, agar narasi negatif itu tidak berkembang liar yang menyebabkan kehancuran Hindu.
Menurutnya, penulisan Disertasi ini dilatarbelakangi keingintahuan yang dalam tentang Agama Hindu yang dianutnya. Selain itu, peristiwa-peristiwa di Bali dalam beberapa waktu belakangan ini yang cukup meresahkan tentang adanya dikotomi atau pertentangan di masyarakat antara Hindu Dresta Bali dengan Sampradaya Asing, sehingga memunculkan konflik, yang mendorongnya, untuk melakukan penelitian ini.
"Sudah mencapai pada konflik fisik bukan lagi konflik idelogis. Bukan konflik dalam pikiran atau hanya perkataan, tetapi sampai kepada fisik sehingga hal-hal itu mendorong saya untuk melakukan penelitian ini," terangnya.
Lebih lanjut, Mangku Pastika menyatakan seluruh umat menyadari beratnya tokoh-tokoh Hindu di Bali berjuang agar Hindu diakui sebagai sebuah agama. Jika sekarang justru terjadi pertentangan tentu sangat disayangkan.
Dikatakan, seharusnya para pemimpin dan tokoh-tokoh agama menyelesaikan dikotomi ini jangan dibiarkan, seperti api dalam sekam.
"Tidak boleh terjadi konflik internal, karena kalau terjadi konflik internal mudah bagi orang lain masuk dan mempengaruhi kita terutama anak-anak muda bahaya konversi pindah agama karena merasa sulit beragama Hindu di Bali. Tidak boleh itu terjadi," paparnya.
Ditegaskan kembali, munculnya dikotomis antara ajaran Hindu Bali versus ajaran Hindu India meru-pakan produk ketidaktahuan oleh pihak-pihak yang ingin mengambil keuntung-an dari dikotomi tersebut.
Ada segelitir elite politikus Hindu Bali memanfaatkan dikotomi tersebut untuk menaikkan elektabilitas menjelang Pilkada tahun 2024.
Oleh segelintir elite politikus Hindu Bali itu, mereka menggunakan terminologi Dresta Bali sebagai ikon Hindu Bali dan menggunakan terminologi sampradaya asing sebagai ikon Hindu India.
Hindu Dresta Bali yang dimaksud adalah Hindu yang menggunakan tradisi Bali, walaupun mereka tidak mampu memberi batas-an secara jelas apa dan bagaimana yang dimaksud dengan tradisi Bali, karena Bali memiliki beranekaragam tradisi.
Dalam ketidakjelasan makna yang mereka gunakan tentang dresta dan mereka juga tidak paham secara benar tentang hahikat sampradaya, malah banyak di antara mereka menggunakan media sosial untuk memperuncing perbedaan yang mereka sendiri tidak tahu secara pasti, yang mereka kontradiksikan atau dikotomikan antara Hindu Dresta Bali versus sampradaya.
Strategi yang dapat dilaksanakan oleh para tokoh Hindu agar intensitas dikotomi antara Hindu Dresta Bali dan Hindu non-Dresta Bali bisa semakin hari semakin berkurang, maka harus ada upaya yang matang dari: (1) Parisada Pusat bekerjasama dengan (2) Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, (3) Gubernur Bali, (4) Ditjen Bimas Hindu Kementerian Agama RI, 5) Pimpinan Kampus Perguruan Tinggi Agama Hindu se- Indonesia, (6) para tokoh akademik yang memiliki wawasan pengetahuan tentang Hindu secara luas untuk membuat perencanaan yang matang tentang “Mega Proyek untuk Menyusun Metode dan Strategi Implementasi Ajaran Hindu yang “Simple, Fleksibel, Logis, Rasional, dan Universal sesuai dengan sifat ajaran Veda”.
Mega proyek itu harus ada pene-kanan secara idealis bahwa para tokoh Hindu harus meningkatkan rasa malunya, jika ajaran Veda yang menjunjung begitu tinggi toleransi dengan fomulasi Tat Tvam Asi (semua yang dilihat sebagai refleksi diri), sarva khalv’ idam brahman (segala-galanya adalah Tuhan), dan vasudhaiva kutumbakam (semua mahluk adalah satu keluarga), dan sebagainya tidak terimplementasi dalam kehidupan.
Banyak sekali implikasi yang diakibatkan oleh adanya dikotomi antara Hindu Drsta Bali dan Hindu India terhadap pengetahuan dan keyakinan umat Hindu di Bali, jika dikotomi itu dibiarkan apalagi jika dikelola oleh orang-orang bermen-tal duniawi yang sangat berkepentingan terhadap dikotomi tersebut, maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut: a) Memberi peluang besar terhadap pihak luar untuk mengadu domba sesama umat Hindu. b) Memberi peluang besar terhadap masuknya para misionaris di antara komunitas umat Hindu, sehingga memberi peluang adanya konversi atau menjadi mualaf. c) Sesuai dengan Era Artificial Intellegence (AI) saat ini, maka framing-framing atas berbagai pernyataan yang diformulasikan sedemikian rupa walaupun tidak benar lama kelamaan akan menjadi data pada AI. Sehingga kemudian jika kita sebagai umat Hindu kelahiran Bali suatu saat entah anak, cucu, atau kumpi kita, menanyakan kepada AI tentang asal-usul Agama Hindu dan hubungannya dengan Agama Hindu India, maka bisa jadi anak, cucu, atau kumpi kita akan mendapat jawaban dari AI, bahwa Hindu Bali adalah asli berasal dari Bali dan tidak ada hubungannya dengan Agama Hindu di India. Jika hal seperti itu terjadi, maka sebagai orang Hindu Bali harus ikhlas menyatakan dirinya sebagai agama suku yang sama dengan aliran kepercayaan. Inilah implikasi ekstrem akibat isu dikotomi Hindu Bali dan Hindu India. d) Implikasi negatif lainnya yang akan muncul akibat isu dikotomi antara Hindu Bali dan Hindu India adalah bahwa: 1) tidak terbukti ajaran Hindu sebagai agama paling toleran sebagaimana ungkapan dalam Bhagavad Gita tentang penghargaan atas perbedaan jalan, juga tidak sesuai dengan mahavakya “Tat Tvam Asi” sebab realitasnya sesama Hindu saja tidak toleran; 2) tidak terbukti ajaran Hindu sebagai agama yang mengembangkan kasih sayang semesta sebagaimana dituangkan dalam subhasita “Vasudhaiva Kutumbakam”. e) Dikotomi Hindu Bali dan Hindu India jika semakin sering terdengar, maka lama-kelamaan akan menimbulkan kebencian dalam benak hati umat Hindu di India yang selama ini selalu bangga jika mendengar atau menyaksikan ada Hindu di berbagai belahan dunia walaupun berbeda cara melaksanakan ritual. f) Dikotomi Hindu Bali dan Hindu India jika dibiarkan terus bergulir, maka akan tercipta asumsi bahwa Agama Hindu yang benar adalah Agama Hindu yang melaksanakan ritual sebagaimana ritual Hindu di Bali. Sedangkan yang mengaku Agama Hindu tetapi tidak melaksanakan ritual seperti Hindu di Bali adalah salah. g) Dikotomi yang menyamaratakan terhadap semua ajaran non- Dresta Bali sebagai Sampradaya, maka akan menimbulkan asumsi bahwa yang dimaksud dengan Agama Hindu adalah agama ritual yang tidak sesuai dengan ajaran Catur Marga Yoga yang mana ritual tersebut termasuk dalam bhakti marga dan karma marga. Sehingga akan muncul pandang-an bahwa umat Hindu tidak perlu belajar memperdalam dan mem-praktikkan jnana marga (jalan ilmu pengetahuan) dan tidak perlu belajar mempraktikkan raja marga (kontemplasi pada Realitas Akhir). h) Manusia adalah mahluk religius (homo religious), manusia sebagai mahluk religius membutuhkan nuansa-nuansa religius atau agamis bahkan sebagai kebutuhan utama. Oleh sebab itu apabila kebutuhan relegius yang esensial itu tidak terpenuhi maka manusia akan mengalami kegersangan rohani. Hal ini akan menyebabkan konflik sosial yang sulit ditangani. Untuk memecahkan konflik sosial itu diperlukan upaya konstruksi sosial, untuk itu diperlukan teori konstruksi sosial untuk menanggulanginya. Selain itu, karena pada dasarnya manusia adalah mahluk religius, maka yang paling esensial dibutuhkan penyadaran umat manusia melalui Teori Kebutuhan Manusia religius atau kebutuhan manusia terhadap agama oleh Guilford. Pencerahan melalui teori Guilford selaras dengan Teori Kebutuhan menurut Manu yang jika dihubungkan dengan teori panca maya kosa (lima lapisan tubuh manu-sia), maka seseungguhnya manusia membutuhkan 80% konsumsi religius dan hanya 20% membutuhkan hal yang material. Karena yang bersifat agamawi atau religius merupakan kebutuhan utama manusia sebagai mahluk religius (homo religious), maka dikotomi atas pandangan Hindu India dan Hindu non-India cukup signifikan menjadi faktor konflik sosial. Walaupun secara teoretis konflik memamg dibutuhkan oleh para pengusung teori konflik terutama dianggap sebagai sebuah keniscayaan dalam pandangan sosilogi. i. Isu dikotomi antara Hindu India dan Hindu Bali jika dibiarkan ber-kembang liar, maka kebutuhan akan kenyamanan dalam belajar dan mempraktikkan ajaran agama secara individu maupun secara kolektif akan terganggu. Sebab ajaran agama dan praktik agama harus dilaksanakan dalam suasana tenang dan damai. Akan sulit melaksanakan ajaran agama sebagai kebutuhan jika situasi tidak nyaman.
Sementara itu, Prof. Dr. Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si., selaku Promotor Mangku Pastika, menerangkan Disertasi ini bisa menjadi solusi untuk menemukan jejak ajaran Veda yang dipertentangkan dari zaman kerajaan sampai hari ini.
"Disertasi ini betul-betul dilakukan dengan profesional penelitian. Beliau meneliti secara kontinyu, bimbingan juga secara kontinyu. Ini menyebabkan disertasi ini menurut saya sangat lengkap nilainya," kata Prof. Sudiana.
Prof. Sudiana juga menambahkan jejak ajaran Veda di Nusantara, termasuk Bali secara rigit sudah diuraikan dalam disertasi ini mulai dari jejak prasasti di Kalimantan yang berbahasa Sansekerta dan tulisan Deva Nagari.
Begitu pula, lanjutnya di Jawa Barat banyak ditemukan prasasti yang bertuliskan Deva Nagari dengan bahasa Sansekerta dan tempat lainnya di Jawa. Hingga prasasti-prasasti yang ditemukan di Bali menggunakan huruf Deva Nagari dan bahasa Sansekerta. "Disertasi ini mampu menjawab atau mengklarifikasi dikotomi yang terjadi selama ini," urainya.
Sementara itu, Budayawan Putu Suasta berpendapat bahwa Mangku Pastika memberi arahan serta menyimpulkan Agama Hindu sejatinya plural bersifat fleksibel, adaptif scientific dan terbuka.
Bahkan, Agama Hindu menjawab peradaban zaman terbaru dan yang akan datang didalam disertasinya sesuai Sanathana Dharma dengan filosofi keabadian, artinya sejatinya agama yang abadi adalah agama Hindu.
"Itu juga dipastikan Dharma merupakan Shelter, yaitu suatu tempat untuk manusia bersandar dalam kehidupan dan Agama Hindu juga menjunjung Pluralisme dan selalu beradaptasi dengan perubahan dalam peradaban Zaman dan bukanlah agama yang statis," pungkasnya. (GAB/ART/001)