Oleh DR. I Wayan Sudirta, SH, MH., Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan
Sebagai sebuah negara yang merdeka, negara Indonesia telah menjamin kebebasan beragama sesuai dengan agama dan keyakinannya serta memberikan pelindungannya, sesuai dengan asas dan prinsip dalam Pancasila dan UUD NRI 1945. Pengakuan ini merupakan dasar atau fundamental bangsa Indonesia sebagai negara yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa (sesuai sila pertama). Indonesia sebagai negara hukum dan konstitusional telah mengatur mengenai jaminan dan pelindungan terhadap Hak Asasi Manusia. Negara Indonesia secara historis terbentuk dari keberagaman yakni dari berbagai suku, ras, golongan, maupun agama; dan kesemuarnya itu membentuk Bangsa dan Negara Indonesia yang berbhineka Tunggal Ika, merdeka dan berdaulat.
Namun apa yang terjadi pada tanggal 27 Juni 2025 di Sukabumi mencoreng citra atau wajah Indonesia yang sangat menghormati budaya dan kebhinekaan yang mengedepankan tenggang rasa dan gotong-royong. Peristiwa tersebut justru mengindikasikan bahwa masih adanya sikap primodial-primitif yang masih intoleran, serta bertentangan dengan falsafah dan konstitusi negara Indonesia. Di tengah berbagai fenomena global dan perkembangan teknologi modern dan ilmu pengetahuan, peradaban dunia kini tengah maju dan meninggalkan budaya lama. Namun bangsa kita masih harus berkutat dengan persoalan paradigma lama. Entah apa yang menjadi motifnya, namun permasalahan harus diakui nyata masih terjadi di wilayah negara Indonesia.
Seperti kita ketahui bersama, insiden pengrusakan dan pengusiran terhadap sekelompok pelajar Kristen yang sedang melakukan kegiatan retret di sebuah villa milik warga jemaat di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat mengundang reaksi besar dari masyarakat, terutama di media sosial. Dalam video tersebut, terlihat warga sekitar memaksa pembubaran kegiatan keagamaan dengan dalih tidak adanya izin penggunaan tempat untuk aktivitas keagamaan. Upaya pembubaran itu disertai dengan kekerasan terhadap barang, pengusiran paksa, termasuk pengrusakan terhadap rumah, fasilitas, atribut, bahkan kendaraan-kendaraan yang dipakai. Intimidasi juga terjadi di hadapan para pelajar yang tergolong remaja atau pelajar.
Setelah insiden tersebut, Ketua Kesbangpol Sukabumi menjelaskan bahwa kejadian tersebut merupakan reaksi warga dari protes terhadap rumah yang tidak difungsikan sebagaimana mestinya. Peringatan juga telah disampaikan sebanyak tiga kali (sejak April 2025). Ketua Kesbangpol menyampaikan juga bahwa kondisi saat ini sudah kondusif dan kasus ini berakhir damai. Pihak warga juga bersedia mengganti kerusakan yang terjadi.
Peristiwa ini mencuat ke publik dan menimbulkan kekhawatiran atas jaminan kebebasan beragama dan perlindungan hukum bagi kelompok minoritas. Peristiwa Cidahu ini merupakan “tindakan intoleransi disertai kekerasan” yang bukan pertama kalinya terjadi. Kita masih ingat dengan beberapa kejadian di berbagai daerah, terutama kericuhan terkait pendirian rumah ibadah dan kegiatan keagamaan. 
Kasus-kasus yang mencuar atau viral seperti kasus GKI Yasmin yang berkepanjangan, kasus di tangerang selatan (2024), kasus GPIB Gresik (2024), kasus Pembangunan gereja dan sekolah di Purwakarta (April 2023), pembagunan gereja di Ciracas Jakarta Timur (Maret 2023), Jombang (Agustus 2024), atau yang terjadi di Banyuanyar Solo (2023). Berbagai penolakan ibadah dan kegiatan keagamaan hingga pendirian tempat ibadah selama ini juga telah atau masih terjadi di berbagai wilayah. 
Setara Institute misalnya mencatat kasus viral penolakan masyarakat terhadap kegiatan beribadah atau keagamaan dari agama tertentu selama tahun 2022 tercatat 50 kasus, pada tahun 2023 (65), dan 42 kasus di tahun 2024. Masyarakat sendiri sebenarnya sudah gerah karena hal tersebut justru memicu konflik sosial.
 
Konstelasi Hukum dan Pemerintahan
Pancasila terutama sila pertama yang mengakui negara sebagai negara Berketuhanan Maha Esa menjadi landasan filosofis pengakuan terhadap agama-agama yang di Indonesia. Sila ketiga Pancasila yang berbunyi Persatuan Indonesia juga menerangkan pada kita semua bahwa Indonesia mengakui kebhinekaan antar-suku, agama, ras, dan golongan. Sila ini juga menjadi landasan berbangsa yang bertoleransi dan bertenggangrasa. Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama dalam Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945, serta dikuatkan dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Tindakan pengusiran terhadap kegiatan keagamaan tanpa dasar hukum yang sah merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkumpul secara damai.
Dalam Perspektif Hukum Pidana, telah diatur pula dalam Pasal 170 KUHP yang melarang tindakan kekerasan secara bersama-sama terhadap orang atau barang. Beberapa pihak bahkan meminta agar aparat penegak hukum wajib memproses secara hukum agar tidak terjadi impunitas. Demikian pula dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak juga telah diatur secara tegas bentuk-bentuk larangan dan pemidanaan terhadap tindakan kekerasan fisik dan psikis yang dapat menyebabkan kerugian materiil maupun moril (misalnya Pasal 76G jo Pasal 76A).
Demikian pula adanya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 (PBM 2 Menteri) atau SKB bersama dua Menteri sebagai aturan di tata administratif. Namun ternyata peraturan saja tidak menghentikan permasalahan tersebut. Peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di level implementasi juga masih lemah, padahal secara regulasi, Pemerintah harus memiliki pola pencegahan hingga penanganan. Bahkan dalam video tersebut, juga terlihat kehadiran aparat keamanan dan militer dalam insiden tersebut namun seperti tidak berdaya dalam mencegah beberapa tindakan anarkis atau amukan warga.
 
Komitmen Bersama
Dalam hal ini, peran negara sesuai dengan undang-undang adalah perlunya untuk mengevaluasi permasalahan tersebut dari sisi implementasi peraturan perundang-undangan serta penegakan hukumnya untuk memberikan rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sesuai ketentuan; maupun perlunya perubahan terhadap konstelasi hukum dan tata kelola pemerintahan. Peran DPR disini tentu akan mengevaluasi permasalahan ini bersama instansi penegak hukum terkait untuk mencari formula terbaik yang dapat memberikan pencegahan kasus serupa terjadi kembali sekaligus penegasan negara hukum.
Oleh sebab itu, saya melihat bahwa, pertama, perlunya pencegahan dan penegakan hukum secara tegas terhadap pelaku pengrusakan dan pengusiran untuk mencegah berulangnya tindakan serupa, baik secara restoratif maupun mencapai keadilan substantif. Saya melihat bahwa dalam hal ini penegakan hukum tetap dapat dijalankan. Pemerintah harus tegas untuk melindungi segenap bangsa dan negara dari tindakan intoleransi.
Selanjutnya saya mengevaluasi peran Pemerintah disini. Pemerintah (baik pusat maupun daerah harus dapat bersinegeri dan hadir sebagai penengah, bukan membiarkan tekanan mayoritas mengalahkan hak minoritas atau hanya sebagai pion politik. 
Pemerintah harus dapat mengevaluasi kembali regulasi maupun implementasi PBM 2 Menteri agar tidak menjadi alat pembatas hak konstitusional, khususnya bagi umat agama minoritas. Ketiga, Pemerintah perlu untuk memperkuat pendidikan toleransi dan keberagaman melalui berbagai media terutama melalui tokoh agama, pendidikan, dan media lokal. Selanjutnya, pentingnya peran LPSK dan Pemerintah untuk merehabilitasi berbagai kerugian atau kerusakan dan membantu secara psikologis para korban, terutama yang dalam hal ini adalah pelajar.
 
Perlunya Ketegasan melawan Intoleransi
Peristiwa ini tentu menjadi sebuah hal yang sangat disayangkan dan memprihatinkan disaat kita sebagai bangsa dan negara seharusnya semakin bersatu untuk melawan tantangan atau kendala di zaman modern ini. 
Bahwa intoleransi dan anarkis masih terjadi di saat kita menggemakan perdamaian dunia maupun kedudukan negara kita terhadap tindakan anti-agama atau anti-toleransi yang terjadi di negara lain. 
Sebagai negara hukum, negara tidak boleh tunduk pada tekanan massa. Setiap warga negara, tanpa kecuali, memiliki hak asasi yang dijamin Konstitusi dan peraturan perundang-undangan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya, tanpa intimidasi atau diskriminasi. Peristiwa di Cidahu bukan hanya pelanggaran hukum, tapi juga cermin bahwa tugas penegakan keadilan dan toleransi masih jauh dari kata selesai.
Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak-hak warganya, termasuk hak atas kebebasan beragama dan beribadah. Pemerintah juga bertanggung jawab untuk menindak tegas pelaku kejahatan pengrusakan tempat ibadah dan memastikan keamanan serta ketertiban umum. 
Demikian pula peran serta masyarakat dalam menjaga kerukunan antar umat beragama dan menghormati hak-hak kebebasan beragama. Sikap saling menghormati dan bertoleransi antar umat beragama adalah kunci utama dalam mencegah terjadinya tindakan pengrusakan tempat ibadah dan konflik sosial yang terkait dengan agama. Saatnya negara hadir lebih kuat — demi hukum, demi hak asasi, dan demi kemanusiaan. Mari kita tegas dalam melawan intoleransi, ekstrimisme, dan berbagai tindakan memecah belah persatuan bangsa. (*)