Buleleng (Atnews) - Kasus Dugaan praktik mafia tanah di Bali utara (Buleleng) kembali mencuat, kali ini terkait sengketa tanah milik almarhum I Nengah Wangi di Desa Pemuteran, Kecamatan Grokgak. Saat di
Konfirmasi Atnews di Ruang kerjanya di Jl.Ngurah Rai Singaraja, pada Selasa (11/2) siang, Kuasa hukum keluarga, Wirasanjaya, SH, MH, CLA, menegaskan bahwa kasus ini harus diusut tuntas demi keadilan bagi ahli waris yang merupakan warga tuna aksara.
"Kami mendapat kuasa dari Ni Luh Ami, istri almarhum I Nengah Wangi, pada 12 Juni 2024. Karena beliau tuna aksara, proses pemberian kuasa ini dilakukan di hadapan Perbekel," jelas Wirasanjaya.
Menurutnya, kliennya melaporkan masih adanya tunggakan pembayaran tanah sebesar Rp447 juta dari total transaksi yang melibatkan tanah seluas 92 are. Dalam prosesnya, I Nengah Wangi menunjuk seorang advokat bernama I Nyoman Sunarta sebagai kuasa hukum untuk mengurus permohonan tanah negara tersebut.
Dikatakan, berdasarkan dokumen yang ditelusuri, tanah seluas 9.200 meter persegi itu telah terbit sertifikatnya dengan nomor 353 pada 30 April 2021. Namun, muncul dugaan bahwa tanah ini telah diperjualbelikan tanpa transparansi yang jelas kepada ahli waris.
"Dalam pertemuan dengan Ketua DPRD Buleleng, kami mendengar ada skema pembagian 50-50. Tapi, menurut Nyoman Sunarta, ada perjanjian lain yang mengatur pembagian tanah dan pembayaran. Sayangnya, hingga kini kami belum melihat isi perjanjian itu," tambahnya.
Fakta lain yang mencurigakan adalah transaksi pembayaran yang dilakukan oleh Sunarta. Berdasarkan bukti transfer, pada 23 Oktober 2023, ia mentransfer Rp231 juta sebagai uang muka, disusul pembayaran kedua sebesar Rp1,62 miliar pada 22 Januari 2024. Namun, dalam dokumen jual beli tahun 2021, tanah tersebut sudah diklaim lunas oleh pembeli, I Wayan Purnamek.
"Kami telah meminta klarifikasi kepada notaris yang menangani transaksi ini. Notaris menyatakan tidak melihat adanya pembayaran tunai, hanya mendengar pengakuan bahwa tanah telah dilunasi," ungkap Wirasanjaya.
Saat ini, sertifikat tanah tersebut telah beralih nama menjadi tiga bagian, yakni atas nama inisial MM, PTNA (anak mantan pejabat di Singaraja), dan insinyur KW. Kuasa hukum menegaskan bahwa kasus ini harus diungkap secara terang benderang.
"Kami meminta aparat penegak hukum agar membongkar fakta sebenarnya. Jangan sampai warga kecil, apalagi yang tuna aksara, hanya dipinjam namanya lalu dimanfaatkan oleh mafia tanah untuk kepentingan mereka sendiri. Jika ada permainan kotor di balik ini, harus segera diusut tuntas!" tegas Wira Sanjaya yang lebih akrab disapa Congsan.
Kasus ini menjadi sorotan publik, terutama adanya dugaan keterlibatan oknum tertentu dalam transaksi jual beli tanah negara. Kuasa hukum berharap pihak kepolisian dan aparat berwenang segera bertindak agar keadilan dapat ditegakkan. (WAN)