Oleh Jro Gde Sudibya
Mengenang perang Puputan Margarana 76 tahun lalu, menyimak narasi peristiwa-peristiwa sebelumnya, terutama perjalanan long march Pak Rai (I Gusti Ngurah Rai) dkk., sampai patriot ini gugur di medan laga sebagai Kusuma Bangsa, sangat tampak putra-putra pejuang Bali ini, menjalankan Dharma Negara, berangkat dari spirit "Nindihin Gumi" dan "Nindihin Kepatutan".
"Nindihin Gumi": membela negeri, bangsa dan negara, at all cost, dalam artian sebenar- benarnya, meninggalkan keluarga teman-teman seperjuangan tercinta, dan juga kegemaran akan lagu-lagu keroncong yang sangat populer di masa perjuangan bergrilya dari dunia yang fana ini. Secara falsafi mereka gugur di medan lagi, tetapi spiritnya "menggema" sampai dewasa ini, di tempat-tempat tertentu, menyebut salah satunya di MPB (Monumen Perjuangan Bangsal) Dalung Badung, dan juga di hati anak-anak bangsa di Bali yang begitu mencintai negerinya.
"Nindihan Kepatutan", kepatutan: sikap rendah hati masyarakat Bali terhadap Kebenaran, karena kemampuannya yang sangat terbatas untuk bisa mengklaim kebenaran. Kepatutan adalah kata ganti dari Kebenaran, yang dilandasi oleh kerendah-hatian.
Kedua spirit ini, tetap dan semakin relevan dewasa ini dalam disrupsi perubahan yang bercirikan (dalam akronim), VUCA: Volatility, kelabilan, Uncertainty, ketidakmenentuan, Complexity, keruwetan dan Ambiguity, kekaburan.
Dalam konteks kehidupan berbangsa ditandai oleh: menonjolnya identitas politik SARA, ketidakadilan ekonomi yang "jauh panggang dari Api" dari Cita-Cita Proklamasi dan prilaku politik dengan kecendrungan umum nir etika dan nir empati.
*) Jro Gde Sudibya, pembelajar sejarah perjuangan bangsa.