Oleh Widminarko
September 1966, saya berada di Palembang. Saya bergabung dalam rombongan misi Muhibah Pemerintah Daerah Bali, sebagai wartawan peliput.
Rombongan dipimpin anggota BPH (Badan Pemerintah Harian) Pemda Bali Bagus Putu Merta Pastime.
Kapal "Buleleng" yang kami tumpangi berangkat dari Pelabuhan Benoa. Kapal milik Perusahaan Perkapalan Nusantara "Nusa Tenggara" bersama direktur utamanya K. Bagiada itu mengarungi Laut Jawa menuju Tanjung Priok. Sementara kapal bongkar-muat barang, rombongan turun ke darat menginap di Jakarta.
Dari Jakarta ke Bandung p.p. kami naik kereta api. Setelah empat hari di Kota Kembang kami kembali ke Jakarta dan naik kapal lagi.
Dari Tanjung Priok kapal meluncur ke Sumatera Selatan. Kami singgah dan menginap di Tanjung Pandan (Belitung) dan Pangkal Pinang (Bangka), sebelum tiba di Palembang.
Empat hari kami di Palembang. Dalam perjalanan balik ke Pelabuhan Benoa, kapal mampir Tanjung Perak dan rombongan turun ke darat. Saya sempat jalan-jalan di Kota Surabaya. Perjalanan yang menyinggahi empat provinsi itu memakan waktu 20 hari.
Ikut dalam misi itu guru dan pelajar Kokar (Konservatori Karawitan) Denpasar dipimpin I Gusti Bagus Nyoman Panji. Selain seorang dokter (I Gusti Made Oka), seorang fotographer (I Gusti Ngurah Mulyadi) dan seorang wartawan (saya), turut pula beberapa undangan antara lain dari Kesatuan ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) dan beberapa relasi Pak Bagiada.
Salah satu acara, pentas kesenian di Pertamina Plaju. Dalam misi muhibah itu, di tiap kota, Kokar selalu menggelar Sendratari Ramayana. Made Bandem (sekarang guru besar) memerankan Anoman, Suasti Dewi Sita. Pudiono Patih/Raksasa, Merti Burung Jatayu. Rahajeng penari dan Badra juru rias. Dan, diperkuat guru, dalang, penabuh, dan penari lainnya.
Usai mementaskan sendratari, mereka tampil di panggung menyanyikan beberapa lagu. Paduan suara yang dipimpin konduktor guru musik Agus Rusli itu diiringi arkodeon yang dimainkan Pak Panji. "Don Dapdape" yang diaransir dengan apik termasuk lagu yang selalu mendapat sambutan tepuk-tangan meriah penonton.
Dari Palembang ke tempat pentas kami menyeberangi sungai Musi, naik kapal motor. Di sepanjang penyeberangan awak kapal memutar piringan hitam, memperdengarkan lagu-lagu. Lirik lagu "Sebiduk di Sungai Musi" menyentuh hati. Penyanyinya, biduan kelahiran Binjai, Alfian, lengkapnya Alfian Rusdi Nasution (1943 - 1992). Saat itu lagu tersebut sedang populer karena baru keluar dari dapur rekaman tahun 1964.
Dalam lamunan saya lirik lagu itu pasti menorehkan kenangan khusus bagi penumpang perahu yang naik bersama teman dekatnya, apalagi duduk berdampingan.
Ada beberapa pasang guru dan murid Kokar saat itu ditengarai sedang menjalin hubungan khusus atau mungkin sedang melakukan pdkt, pendekatan. Tercatat dalam buku kecil saya, setidaknya lima pasangan antar-sesama Kokar dalam rombongan kami itu yang kemudian merajut kedekatannya sebagai suami-isteri.
Tersimpan juga dalam catatan saya, setelah perjalanan 20 hari itu, beberapa penari Kokar digaet jejaka non-Kokar.
Tim penari diperkuat guru tari yang sudah tersohor namanya, Raka Astuti dan Ni Ketut Arini. Dari investigasi yang saya lakukan dengan bisik-bisik, diketahui saat itu mereka juga masih lajang, sebagaimana saya.
Berbekal buku catatan, saya menghabiskan waktu senggang selama di Kota Empek-Empek itu, blusukan di sudut-sudut kota. Bersama dr. I Gusti Made Oka, Letda (L) Subroto, dan Mulyadi kami kunjungi antara lain Jembatan Ampera yang sebelumnya bernama Jembatan Bung Karno, yang membentang di atas Sungai Musi.
*) Widminarko, Ketua PWI Bali periode 1983-1991.