Banner Bawah

Bedah Buku Kearifan Lokal Bali, Dewa Palguna: Menduniakan Spirit Vasudhaiva Kutumbahakam

Admin - atnews

2022-03-13
Bagikan :
Dokumentasi dari - Bedah Buku Kearifan Lokal Bali, Dewa Palguna: Menduniakan Spirit Vasudhaiva Kutumbahakam
Slider 1

Gianyar (Atnews) - Bedah buku yang berjudul Kearifan Lokal Bali "Sudut Pandang Seorang Warga Bumi, Manusia Nusantara" karya Anand Krishna di Gianyar, Jumat (11/3).
Dengan menghadirkan narasumber Dr I Dewa Gede Palguna sebagai Anggota MPR RI 1999-2004 Hakim Konstitusi RI 2003-2008 dan 2015-2020 dan Anggota Hindu Center dan Forum Penyadaran Hindu Putu Suasta yang merupakan Alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Cornell University.
Acara tersebut dipandu oleh Dr I Wayan Sayoga. Hadir pula Mantan Kapolda NTT Irjen Pol (P) Ketut Untung Yoga Ana, Camat Tabanan dan  Ida Mpu Prema Ananda Jaya.
Dewa Palguna mengungkapkan tidak ada satu pun karya tulis dharmawacana Anand Krishna yang absen dari upaya mempromosikan spirit vasudhaiva kutumbahakam (seluruh dunia adalah satu keluarga).
"Karena itu, kita semua bersaudara. Kita tahu spirit itu pula menjadi landasan perjuangan seumur hidup Mahatma Gandhi dan Bung Karno," ungkapnya. 
Spirit vasudhaiva kutumbahakam juga telah menduniakan nama Svami Vivekananda melalui Forum Parliament of World Religion (1893) di Chicago, Amerika Serikat, tatkala Sang Svami membuka pidatonya dengan frasa yang diucapkan secara tulus dan menyentuh hati. "Sister and Brother of America".
Maka, entah kebetulan atau memang sudah direncanakan buku (yang selanjutnya) berbicara tentang kearifan lokal Bali ini pun secara implisit dimulai dengan mengingatkan spirit vasudhaiva kutumbahakam.
Diawali dengan upaya penulis meluruskan kecendrungan pihak - pihak tertentu yang memberi tafsir "sewenang-wenang" tatkala mengutip ucapan Bung Karno yang mengucapkan "Kalau jadi Hindu jangan jadi orang Hindia, kalau jadi orang Islam jangan jadi orang Arab, kalau jadi orang Kristen jangan jadi orang Yahudi, tetaplah jadi orang Nusantara dengan adat-budaya Nusantara yang kaya raya ini."
Ada pihak yang menggunakan ucapan itu, kata Anand Krishna untuk membenarkan keengganan kita untuk berubah (our stubbornness to change). Kesesatan bernalar macam ini berpotensi lahir jika ucapan Bung Karno itu dikutip dengan memisahkannya dari konteksnya. Cara pengutipan demikian akan melahirkan kesan atau bahkan tafsir bahwa Bung Karno mengajurkan menolak orang India  Arab, Yahudi. Padahal dalam konteks ucapan tadi yang dianjurkan oleh Bung Karno untuk dihindari adalah "kebiasaan kita menjadi copycat, melakukan copy paste tanpa menggunakan inteligensi yang kita miliki" kata Anand Krishna. 
Bagi orang yang sungguh - sungguh sebagai "pembaca" Bung Karno bukan sekedar die hard-nya, mungkin "wanti-wanti" Anand Krishna ini merasa berlebihan. 
Sebab, seperti apa yang ditegaskan oleh Anand Krishna sendiri, bagaimana mungkin seorang Sukarno yang tegas-tegas menolak chauvinisme melalui gagasan kebangsaanya yang inklusif pada saat yang sama juga seorang xenophobist
Penafsiran yang out of context itu juga akan tertolak dengan sendirinya oleh fakta bahwa Bung Karno justru menjadikan perikemanusiaan atau internasionalisme yang secara substansial tiada beda dengan spirit vasudhaiva kutumbahakam sebagai salah satu fundamen tak terpisahkan dari keempat fundamen lain yang membentuk Pancasila sebagai satu kesatuan untuk dipromosikan sebagai dasar negara, sebagaimana disampaikan dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 pada sidang Badan Penyelidik Usaha - usaha Persiapan Kemerdekaan.
Namun "wanti - wanti" demikian menjadi penting bahkan terasa sebagai kebutuhan, jika mengingat makin terasa menguatkan fenomena keterbelahan masyarakat kita sebagai "hasil panen sampingan" penyemaian politik identitas dan populisme politikus oportunis yang hanya peduli pada kursi kekuasaan barangkali perilaku senonoh para politikus macam ini yang "memprovokasi" Mark Twin, si jenius pengarang trilogi Tom Sawyer itu, melontarkan ucapan sarkastiknya yang sangat terkenal dan sering dikutip "Politicians and diapers must be changed often, and for same reason" (Politikus dan popok sering-sering diganti, karena alasan yang sama). 
Politik identitas dan populisme politikus oportunistik demikian sesungguhnya bukan sekedar mengingkari atau bukan menghianati sejarah dan eksistensi bangsa yang didirikan di atas pengakuan sebagai masyarakat majemuk (pluralistic society) melainkan secara esensial juga secara nyata menyerang konstitusi, khususnya pembukaan UUD 1945. Maka dari perspektif demikian, wanti - wanti Anand Krishna sungguh dapat dimengerti sebab ia sejatinya mewakili kekhawatiran bersama. 
Melalui wanti - wanti itu, Anand Krishna sejak dini tampaknya hendak memberitahu pembaca buku ini bahwa semangat yang tersirat dalam wanti - wanti itulah ia akan membedah butir - butir mutiara yang terserap dalam kearifan lokal Bali. 
Sub judul buku ini, "Sudut Pandang Seorang Warga Bumi, Manusia Nusantara" lebih menegaskan semangat itu. Dengan demikian, kearifan lokal Bali (diharapkan) akan benar - benar hadir sebagaimana nature kearifan lokal (local wisdom) dimana pun, yaitu bahwa ia bukan warisan budaya, norma-norma sosial dan nilai - nilai beku melainkan memiliki arti penting cara pandang Anand Krishna dalam membedah kearifan lokal Bali yang bertolak dari spirit vasudhaiva kutumbahakam itu, yang diperkuat dengan argumentasi penalarannya yang tajam serta cara bertuturnya yang mengalir.
"Anda akan jadi lebih paham mengapa orang Bali sama sekali tidak menemukan masalah ia mengindentifikasikan diri sebagai orang Indonesia tanpa harus meninggalkan kebaliannya atau tanpa harus membuat kebaliannya tersinggung," ujarnya. 
Sementara itu, Putu Suasta memberikan apresiasi terhadap warisan leluhur orang Bali yang memiliki nilai - nilai universal.
Warisan itu dapat diimplementsikan dalam memajukan sumber daya manusia (SDM) Bali agar sesuai dengan desa (tempat), kala (waktu) dan patra (kedaan).
Ditegaskan pula, Bali mayoritas agama Hindu (Sanatana Dharma) memiliki sifat universal untuk mewujudkan perdamaian.
"Hindu juga bukan sekterarian, apabila sekterarian tentu menjadi sebuah masalah," ujarnya. 
Menurutnya, ajaran Hindu mampu beradaptasi dengan daerah maupun dengan perkembangan zaman (desa, kala dan patra). 
Untuk itu, ajaran Hindu mampu bertahan lebih dari 5000 tahun dan diterima di seluruh dunia. 
Begitu juga Hindu mengajarkan spiritual bukan sebatas agama, apalagi Hindu di Nusantara penuh warna termasuk di Palau Dewata. 
Demikian juga disampaikan Teolog, Filosof dan Ahli Paleontologi Perancis Dr. Teilhard de Chardin  yang membangun visi terpadu sience dan mistisisme dengan pemikirannya; dari evolusi semangat dan pemikiran.
Berpendapat bahwa agama bukan hanya satu, tetapi ada ratusan. Sedangkan spiritualitas adalah satu diperuntukkan bagi mereka yang sudah bangun atau sadar ingin mengetahui jati diri. 
Spiritualitas adalah untuk mereka yang sudah dapat memperhatikan suara hati mereka,  memberi kedamaian batin. Dengan mengajarkan bagaimana harus belajar dari kesalahan.
Selain itu, pihaknya mengingatkan, dalam era reformasi mengajak masyarakat dapat membangun kesadaran pluralisme dan multikultur yang semakin baik. 
Dikarenakan, belakangan ini pluralisme justru digiring ke arah relativisme radikal, yang di dalamnya setiap orang, kelompok, atau  komunitas tampaknya bebas melakukan apa saja, tanpa perlu terikat lagi dengan konsensus, aturan main bersama, dan hukum.
Adanya  berbagai konflik kesukuan, agama, dan ras menunjukkan bahwa sebuah bangsa belum siap secara mental, sosial dan kultural untuk hidup di dalam sebuah ruang keanekaragaman dan pluralitas.
Kematian pluralisme tidak lain disebabkan oleh kecenderungan perkembangan sosial politik ke arah berbagai bentuk relativisme radikal yang di dalamnya ada kecenderungan untuk merelatifkan segala hal, sehingga menimbulkan indeterminasi di dalam berbagai aspek sosial politik. 
Pemahamam pluralisme dimana pandangan yang menghargai kemajemukan serta penghormatan terhadap sang lain yang berbeda (the others), membuka diri terhadap warna-warni keyakinan, kerelaan untuk berbagi, keterbukaan untuk saling belajar (inklusivisme), serta keterlibatan diri secara aktif di dalam dialog  dalam rangka mencari persamaan-persamaan (common belief) dan menyelesaikan konflik-konflik. 
Oleh sebab itu, tanpa ada keterlibatan aktif dalam pengembangan sikap dialogis ini, tidak ada pluralisme.
Sedangkan multikulturalisme adalah sebuah relasi pluralitas yang di dalamnya terdapat problem minoritas vs mayoritas, yang di dalamnya ada perjuangan  eksistensial bagi pengakuan, persamaan, kesetaraan, dan keadilan. Multikulturalisme jelas memperkaya pluralisme, meskipun tidak bisa disamakan dengannya.
"Sangatlah dibutuhkan adanya upaya untuk kembali mengingatkan dan menguatkan pemahaman masyarakat mengenai prinsip-prinsip pluralisme dan multikultur yang sejalan dengan Sesanthi Bhinneka Tunggal Ika untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan masyarakat," ujarnya. (GAB/ART/001)


Banner Bawah

Baca Artikel Menarik Lainnya : UU Tak Nabrak UUD 1945

Terpopuler

Pisah Sambut Kajati Bali, Penegakan Hukum yang Adil dan Kesejahteraan Masyarakat

Pisah Sambut Kajati Bali, Penegakan Hukum yang Adil dan Kesejahteraan Masyarakat

Peek into Your Past and Delve Deeper into Yagyas 

Peek into Your Past and Delve Deeper into Yagyas 

DPRD Badung mengucapkan Hari Sumpah Pemuda

DPRD Badung mengucapkan Hari Sumpah Pemuda

Pelantikan Pejabat Eselon III Lingkungan Kejati Bali, Kajati Chatarina; The Right Person in The Right Place

Pelantikan Pejabat Eselon III Lingkungan Kejati Bali, Kajati Chatarina; The Right Person in The Right Place

Resmikan Tugu CBP Rupiah, Jaga Stabilitas, Kemandirian dan Keberlanjutan Ekonomi Bangsa

Resmikan Tugu CBP Rupiah, Jaga Stabilitas, Kemandirian dan Keberlanjutan Ekonomi Bangsa

Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional, Menyimpan Karbon Empat hingga Lima Kali lebih Besar Dibandingkan Hutan Daratan

Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional, Menyimpan Karbon Empat hingga Lima Kali lebih Besar Dibandingkan Hutan Daratan